
Kemajuan Kota Cordoba di abad 10 M melebihi kota-kota lain yang ada di Eropa. Kota ini menjadi tempat perhatian dunia dan sesuatu yang mengagumkan, sama halnya dengan Kota Venesia di Balkan. Para turis yang datang dari Utara merasakan kekhusyukan dan kewibawaan kota yang memiliki tujuh puluh perpustakaan dan sembilan ratus pemandian umum ini.
Ketika para pemimpin Kota Lyon, Nevar, dan Barcelona membutuhkan ahli bedah, insinyur, arsitek bangunan, penjahit pakaian atau ahli musik, maka mereka langsung menuju ke Kota Cordoba. Inilah kesaksian orang Barat, J. Brand Trend, terhadap Kota Cordoba pada abad keempat Hijriyah (sepuluh Masehi).

Sebagai perpanjangan dari peradaban Islam, baik dari segi ilmu, nilai, dan keagungan, muncullah sang bintang, Kota Cordoba, yang menjadi saksi bisu atas pencapaian peradaban kaum muslimin dan kemuliaan Islam pada saat itu, yaitu pada pertengahan abad keempat Hijriyah atau sepuluh Masehi ketika bangsa Eropa dalam kegelapan.
Cordoba adalah suatu nama yang senantiasa memiliki alunan nada yang khusus di telinga setiap orang Eropa yang mempercayai kebangkitan dan peradaban kemanusiaan. Al-Muqri mengatakan bahwa sebagian ulama Andalusia mengatakan,

Cordoba menjadi terdepan karena empat alasan
Pertama, jembatan al-Wadi, kedua Masjid Jami’
Ketiga, az-Zahra dan yang keempat ilmu pengetahuan
Yang akhir paling besar secara keseluruhan (Nafh ath-Thayyib Min Ghusn al-Andalus ar-Rathib, 1/53).
1. Cuplikan Sejarah dan Geografi Cordoba

Kota Cordoba terletak di sungai al-Wadi al-Kabir di bagian Selatan Spanyol. Kota ini didirikan oleh bangsa Cordoba yang tunduk kepada pemerintahan Romawi dan Visigoth (Bangsa Goth) (Maus’ah al-Maurid al-Hadits). Kota ini ditaklukkan oleh panglima Islam yang terkenal, Thariq bin Ziyad, pada tahun 93 H / 711 M. Sejak saat itu kota Cordoba memulai tatanan hidup baru dan mengukir sejarah yang sangat penting dalam sejarah peradaban umat manusia.
Kecemerlangan Cordoba sebagai kota peradaban mencapai puncaknya pada tahun 138 H / 759 M, ketika Abdurrahman ad-Dakhil mendirikan daulah Umayyah II di Andalusia setelah sebelumnya runtuh di Damaskus oleh orang-orang Abbasiyah.
Pada masa Abdurrahman an-Nashir, khalifah pertama Umayyah di Andalusia, kemudian putranya al-Hakam al-Mustanshir, Kota Cordoba mencapai puncak kemajuan dan masa keemasannya. Apalagi kota ini dijadikan sebagai ibu kota Daulah Umayyah II dan tempat istana kekhalifahan di dunia Barat.
Pada masa ini, Cordoba juga dijadikan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan peradaban dunia sehingga menyaingi Konstantinopel, ibu kota Kekaisaran Bizantium di benua Eropa, Kota Baghdad ibu kota Daulah Abbasiyah di Timur, Kota Kairawan dan Kairo di Afrika, sehingga orang-orang Eropa menyebut Cordoba dengan “Mutiara Dunia”.
Perhatian Dinasti Umayyah terhadap Kota Cordoba mencakup beberapa sisi kehidupan, seperti: pertanian, perindustrian, pembangunan benteng-benteng, pembuatan senjata, dan lain sebagainya. Mereka juga membuat aliran-aliran air dan mengimpor berbagai macam pohon dan tanaman buah untuk di tanam di kota ini.
2. Beberapa Fenomena Peradaban di Cordoba
Berikut ini beberapa bangunan yang menunjukkan kemajuan peradaban di Andalusia terutama di Kota Cordoba. Dari sini kita dapat mengetahui sumbangan-sumbangan Islam dalam perjalanan sejarah manusia.
Jembatan Cordoba
Termasuk salah satu keistimewaan Cordoba adalah Jembatan Cordoba yang letaknya ada di sungai al-Wadi al-Kabir. Jembatan ini dikenal dengan nama al-Jisr dan Qantharah ad-Dahr. Panjangnya sekitar 400 m, lebar 40 m, dan tingginya 30 m
Ibnu al-Wardi dan al-Idrisi meberikan kesaksian bahwa jembatan tersebut melebihi jembatan-jembatan yang lain dari segi kemegahan bangunan dan kecanggihannya (Kharidah al-Aja’ib wa Faridah al-Ghara-ib, Hal. 12).
Jembatan yang menakjubkan tersebut dibangun pada permulaan abad kedua Hijriyah tahun 101 H, atau sejak 14 abad yang lalu. Jembatan ini dibangun oleh Gubernur Andalusia, as-Samh bin Malik al-Khaulani di masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz. Artinya, jembatan ini dibangun pada saat manusia belum mengenal sarana transportasi kecuali binatang: keledai, onta, bighal, dan kuda. Dan ketika itu, sarana-sarana pembangunan belum secanggih saat ini. Hal inilah yang menjadikan jembatan tersebut salah satu kebanggaan peradaban Islam.
Masjid Raya Cordoba

Masjid Jami’ Cordoba merupakan salah satu unsur peradaban Cordoba yang sangat penting dan masih tetap bertahan hingga sekarang. Masjid tersebut dalam bahasa Spanyol disebut Mezquita, yang diambil dari kata masjid. Masjid ini adalah masjid yang paling masyhur di Andalusia, bahkan di seluruh Eropa. Namun, sekarang masjid ini dijadikan sebagai katedral. Masjid ini mulai dibangun Abdurrahman ad-Dakhil tahun 170 H / 786 M., kemudian diteruskan oleh putranya Hisyam dan khalifah-khalifah setelahnya. Setiap khalifah memberikan sesuatu yang baru kepada masjid tersebut, dengan memperluas dan memperindahnya agar menjadi masjid yang paling indah di Cordoba dan masjid terbesar di dunia saat itu.
Penulis kitab ar-Raudh al-Mi’thar mengatakan, “Di Kota Cordoba ini teradapat sebuah masjid yang sangat terkenal dan sering disebut-sebut. Masjid itu adalah masjid terbesar di dunia, luas, dengan teknik pembangunan yang modern, bentuk yang indah, dan bangunan yang sempurna.”
Para khalifah memberikan perhatian yang besar terhadap Masjid Cordoba ini. Mereka memberikan tambahan demi tambahan, penyempurnaan demi penyempurnaan hingga mencapai tingkat yang sempurna, bangunan yang membuat kagum, dan tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.

Tidak ada masjid kaum muslimin yang menyerupai masjid ini dari segi keindahan, luas, dan besarnya. Separuh masjid dibuat beratap dan separuhnya lagi tidak. Jumlah lengkungan bangunan yang beratap ada empat belas. Ada 1000 tiang, baik tiang yang besar ataupun kecil. Ada 113 sumber penerangan, penerangan yang terbesar terdapat 1000 lampu dan yang paling kecil memuat 12 lampu.
Seluruh kayunya berasal dari pohon cemara Thurthusy. Besar pasaknya satu jengkal dan panjangnya 30 jengkal, antara satu pasak dengan pasak yang lain dipasang pasak yang besar. Di atapnya terdapat bermacam-macam seni ukir yang antara satu dengan yang lain tidak sama. Susunannya dibuat sebaik mungkin dan warna-warnanya terdiri dari warna merah, putih, biru, hijau, dan hitam celak. Arsitektur dan warna-warni itu menyenangkan mata dan menarik hati. Luas tiap-tiap penyusun atap adalah tiga puluh tiga jengkal. Jarak antara satu tiang dengan tiang yang lain lima belas hasta, dan masing-masing tiang bagian atas dan bawahnya dibuat dari batu marmer pualam.
Masjid ini mempunyai mihrab yang sangat indah, dihiasi ukiran-ukiran dengan teknik yang sempurna, dan terdapat mozaik yang dilapisi emas. Hal ini sampai membuat pemimpin Konstantinopel mengirim utusan kepada Abdurrahman an-Nashir Lidinillah. Di dua arah mihrab ada empat tiang, dua tiang berwarna hijau dan dua lagi berwarna violet kehijau-hijauan. Di bagian ujung dipasangi lapisan
Mihrab Masjid Cordoba yang masih berhiaskan kaligrafi Alquran
marmer yang dihias dengan emas, lazuardi, dan warna-warna lainnya. Di sebelah mihrab terdapat mimbar yang keindahannya tidak ada yang menandinginya; kayunya adalah kayu ebony, box, dan kayu untuk wewangian. Konon, mihrab tersebut dibuat selama tujuh tahun dan dikerjakan oleh tujuh orang ahli, selain tukang pembantu.
Di sebelah Utara mihrab terdapat gudang yang di dalamnya terdapat beberapa wadah yang terbuat dari emas, perak, dan besi. Semuanya untuk tempat nyala lampu pada setiap malam ke-27 bulan Ramadhan. Di gudang ini juga teradapat mushaf besar yang hanya dapat diangkat oleh dua orang, dan juga terdapat mushaf Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu yang beliau tulis dengan tangannya sendiri. Mushaf ini dikeluarkan setiap pagi oleh para penjaga masjid. Mushaf ditempatkan di atas kursi dan imam membaca separuh hizb darinya, kemudian dikembalikan ke tempatnya semula.
Di sebelah kanan mihrab dan mimbar adalah pintu yang menuju ke istana, terletak di antara dua dinding masjid yang berupa lorong yang beratap. Di lorong ini ada delapan pintu; empat pintu dari arah istana tertutup dan empat pintu dari arah masjid juga tertutup. Sedangkan masjid ini memiliki 20 pintu yang dilapisi dengan tembaga. Setiap pintu memiliki dua gagang pintu yang indah. Daun pintu dihiasai dengan beberapa butiran yang terbuat dari bata merah yang ditumbuk dengan berbagai macam hiasan yang lain.
Dalam setiap bagian dari empat arah lingkaran menara terdapat dua buah lengkungan yang dibuat batu marmer. Di samping menara juga ada ruang yang memiliki empat pintu tertutup. Ruang ini digunakan tempat tidur oleh dua muadzin setiap malam. Di atas ruang terdapat tiga wadah minyak yang terbuat dari emas dan dua wadah lainnya terbuat dari perak dan daun tumbuhan lili.
Secara keseluruhan, para petugas masjid berjumlah enam puluh orang. Dan mereka dipimpin oleh satu orang yang mengawasi kerja mereka (ar-Raudh al-Mi’thar fi Khabar al-Aqthar, 1/456-457). Keterangan yang hamper sama juga diberikan oleh Ibnu al-Wardi dalam kitabnya Kharidhah al-Aja’ib wa Faridah al-Ghara’ib.
Halaman Masjid Cordoba dipenuhi dengan tanaman jeruk dan delima agar buah-buahnya dapat dimakan orang-orang yang lapar dan para musafir yang datang ke kota Cordoba.

Namun, hal yang menyedihkan dan membuat air mata berlinang, masjid yang megah ini telah diubah menjadi katedral sejak jatuhnya Andalusia dari tangan kaum muslimin. Masjid ini kemudian berada di bawah kontrol gereja, walaupun namanya tetap diabadikan. Menaranya yang tinggi menjulang dan megah telah berubah menjadi tempat lonceng kebaktian gereja untuk menyembunyikan karakter Islamnya. Adapun dinding-dindingnya masih dipenuhi dengan ukiran ayat-ayat Alquran yang mencitrakan daya artistik yang tinggi. Masjid ini sekarang menjadi salah satu bagian dari tempat sejarah yang paling masyhur di dunia.
Universitas Cordoba
Peran Masjid Cordoba tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun masjid ini juga berfungsi sebagai universitas, bahkan salah satu yang paling masyhur di dunia dan markas ilmu di Eropa. Dari universitas ini, ilmu-ilmu Arab ditransfer ke Eropa selama berabad-abad. Segala cabang ilmu diajarkan di sini dan para pengajarnya merupakan orang-orang yang sangat kompeten di bidangnya. Para pencari ilmu datang ke unversitas ini, baik dari Timur maupun dari Barat. Para pengajar dan dosen diberi imbalan dengan gaji yang layak agar mereka fokus mengabdikan diri untuk mengajar dan menulis dengan baik. Para siswa pun diberi uang saku secara khusus, dan orang-orang yang tidak mampu diberikan beasiswa dan bantuan.
Itulah yang memperkaya khazanah ilmiah secara signifikan di Cordoba pada saat itu. Dan Cordoba mampu melahirkan ilmuan-ilmuan yang mengabdi kepada Islam dan kaum muslimin secara khusus dan dunia secara umum. Tidak hanya di bidang ilmu tertentu, akan tetapi juga di berbagai disiplin ilmu. Di antara mereka adalah az-Zahrawi (325 – 404 H / 936 – 1013 M), seorang ahli bedah yang paling masyhur, dokter, dan ahli obat-obatan, dan pembuatannya. Ada juga Ibnu Bajah, Muhammad al-Ghafiqi, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Rusy, al-Idrisi, Abu Bakar Yahya bin Sa’dun bin Tamam al-Azdi, Qadhi al-Qurthubi an Nahwi, al-Hafizh al-Qurthbi, Abu Ja’far al-Qurthubi, dan masih banyak ilmuan-ilmuan lainnya.
Sejarah Kota Cordoba : Kota Metropolitan

Dari apa yang telah kita ketahui tentang peradaban di Kota Cordoba, tidak aneh kalau kota ini di pertengahan abad keempat Hijriyah atau abad sepuluh Masehi telah menjadi kota metropolitan yang bisa disandingkan dengan kota-kota modern di milienium ke-3. Bagaimana tidak, sekolah-sekolah di sana tumbuh subur, memberikan pendidikan bagi masyarakatnya, perpustakaan-perpustakaan baik yang bersifat khusus maupun umum ada di setiap penjuru kota, sehingga Cordoba menjadi kota yang paling banyak koleksi bukunya dan menjadi pusat kebudayaan dan berbagai macam ilmu pengatahuan.
Orang-orang miskin juga tidak terhalangi untuk menikmati pendidikan di sekolah-sekolah gratis milik pemerintah. Oleh karena itu, konon tidak ada penduduk yang tidak bisa membaca dan menulis di kota ini (al-Maktaba fi al- Islam, Hal. 99). Keadaan ini terjadi bersamaan dengan kaum elit bangsa Eropa masih buta baca-tulis, kecuali beberapa tokoh agama.
Layak untuk disebutkan bahwa kebangkitan ilmiah peradaban di Kota Cordoba pada saat itu disertai dengan kebangkitan administrasi dan perkantoran, yaitu melalui beberapa lembaga dan sistem-sistem hukum yang berlaku, seperti kepemimpinan dan kementerian. Sistem peradilan, kepolisian, Hisbah (polisi syariah), dan lembanga-lembaga lainnya juga mengalami kebangkitan.
Bidang perindustrian mengalami perkembangan yang pesat dan banyak industri yang masyhur, seperti industri kulit, industri perkapalan, industri alat-alat pertanian, industri obat-obatan, begitu juga industri emas, perak, dan tembaga (Shubh al-A’sya, 5:218).

Keistimewaan kota Cordoba yang lainnya -sebagaimana disebutkan Yaqut dalam Mu’jam al-Buldan- adalah pasar-pasarnya yang memiliki barang-barang dan komoditi yang lengkap. Dan masing-masing daerah memiliki pasar yang khusus (Nafh ath-Thib min Ghushn al-Andalus ar-Rabith, 1:558).
Dari uraian yang disampaikan al-Muqri dalam Nafh ath-Thib min Ghushn al-Andalus ar-Rabith, dapat diketahui data-data pembangunan Cordoba adalah sebagai berikut:
Masjid-masjid Kota Cordoba pada masa Abdurrahman ad-Dakhil mencapai 490 masjid, kemudian setelah itu bertambah menjadi 3.837 masjid.
Rumah rakyat mencapai 213.077 buah rumah, dengan perumahan elit sebanyak 60.300 buah.
Pertokoan dan sejenisnya mencapai 80.455 buah. Pemandian umum mencapai 900 tempat. Dan lapangan umum mencapai 28 lapangan.
Angka-angka tersebut bisa bertambah dan bisa kurang, sesuai dengan kondisi politik dan perbedaan dari riwayat dari para sejarawan. Akan tetapi, perbedaan tersebut adalah perbedaan atas sejauh mana kemegahan, kebesaran, dan keindahan pembangunan, bukan perbedaan tentang esensi dan wujudnya.
Jumlah penduduk Cordoba pada masa daulah Islam sekitar 500.000 jiwa namun jumlah penduduknya saat ini hanya 310.000 jiwa
Sumber : Madza Qaddamal Muslimuna lil ‘Alam Ishamatu al-Muslimin fi al-Hadharah al-Insaniyah oleh Raghib as-Sirjani